Artikel Cover Hari Pajak-03

NIK Jadi NPWP, Tahun Depan Semua Penduduk Indonesia Menjadi Wajib Pajak?

Pada tahun lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, meluruskan pemberitaan yang menyebut setiap pemilik NIK merupakan Wajib Pajak (WP) ditegaskan olehnya sebagai sesuatu yang salah dan menyesatkan.

Menkeu juga memberitahukan bahwa integrasi NIK dan NPWP guna untuk penyederhanaan administrasi  dan untuk konsistensi. Sehingga masyarakat Indonesia tidak perlu memiliki dua identitas, yaitu identitas kependudukan dan perpajakan.

Dalam laporan APBN Kita edisi Juni 2022, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pengenaan pajak tidak dilakukan kepada semua pemilik NIK. Pasalnya, NIK akan diaktivasi sebagai NPWP ketika syarat berikut terpenuhi.

Pertama, pemilik NIK yang akan dikenakan pajak jika sudah memenuhi syarat subjektif, yaitu sudah berusia 18 tahun.

Kedua, pemilik NIK juga harus memenuhi syarat objektif, yaitu berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta perbulan untuk status belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) atau merupakan wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM beromzet di atas Rp500 juta setahun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23/2018.

Dengan demikian penggunaan NIK sebagai NPWP yang akan diterapkan mulai tahun depan, tidak menjadikan semua penduduk Indonesia membayar pajak atau sebagai Wajib Pajak (WP).


Referensi

Amaranggana. (2021). Integrasi NIK & NPWP, Semua Penduduk Jadi Wajib Pajak?. Pajakku. https://www.pajakku.com/read/615d11394c0e791c3760b53c/Integrasi-NIK-&-NPWP-Semua-Penduduk-Jadi-Wajib-Pajak?

Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak. (2021). Kembali Tegaskan, Menkeu Sebut NIK Jadi NPWP untuk Penyederhanaan. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/kembali-tegaskan-menkeu-sebut-nik-jadi-npwp-untuk-penyederhanaan/

Redaksi DDTC News. (2022). NIK Jadi NPWP Mulai 2023, Siapa yang Wajib Bayar Pajak?. DDTC News. https://news.ddtc.co.id/nik-jadi-npwp-mulai-2023-siapa-yang-wajib-bayar-pajak-40167

 

Artikel Cover Hari Pajak-02

Mengenal Perpajakan di Indonesia Melalui Sejarah Singkat dan Tantangannya

Salah satu komponen penting dalam perjalanan suatu bangsa adalah pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan utama negara, termasuk Indonesia.

Indonesia sudah mengenal pajak sebelum masuknya Belanda dengan istilah upeti. Upeti merupakan pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat untuk kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya pada zaman dahulu, seperti membangun istana atau membiayai rumah tangga kerajaan.

Di Indonesia sendiri kata pajak pertama kali disebut oleh ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Radjiman Wediodiningrat dalam siding panitia kecil soal “Keuangan” dalam masa reses BPUPKI sesudah pidato terkenal Sukarno dibacakan pada 1 Juni 1945. Radjiman memberikan lima usulan diantaranya pada butir empat menyebut bahwa “Pemungutan pajak harus diatur oleh hukum”.

Kata pajak juga muncul pada Rancangan UUD Kedua yang disampaikan pada 14 Juli 1945 pada Bab VII Hal Keuangan pada Pasal 23 butir kedua bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”.

Sejak saat itu urusan pajak terus masuk dalam UUD 1945. Atas dasar itu, maka tanggal 14 Juli dipilih sebagai Hari Lahir Pajak.

Segala sesuatu tidak luput dari tantangan dan rintangan begitupun dalam bidang perpajakan di banyak Negara salah satunya Indonesia. Kementerian Keuangan mengidentifikasi beberapa tantangan dalam bidang perpajakan yang harus dihadapi saat ini dimana ekonomi digital sudah berkembang pesat sebagai berikut.

Pertama, ekonomi berbasis teknologi digital telah berkembang hingga lintas negara dan belum ada kesepakatan antar negara terkait sistem perpajakan yang sesuai untuk menghadapi perubahan model bisnis ini.

Kedua, sistem perpajakan dalam sistem akuntansi saat ini masih berbasis pada pengenaan pajak bagi suatu perusahaan berdasarkan lokasinya. Di sisi lain, saat ini kecenderungan perusahaan menjalankan bisnis lintas negara berbasis teknologi digital. Sehingga perusahaan tersebut tidak perlu membuka kantor di negara-negara yang menjadi basis pemasaran produk dan jasanya.

Ketiga, perkembangan teknologi digital ini telah mempersulit pemerintah dan pelaku usaha di berbagai negara dalam menentukan jumlah pengenaan pajak penghasilan yang tepat dan kepada otoritas negara mana pajak tersebut harus dibayarkan.

Lalu yang terakhir, digitalisasi telah mempengaruhi aktivitas transfer pricing perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengalihkan profit ke berbagai costs dalam rangka mengurangi pendapatan kena pajak.

Hal-hal tersebut berpotensi mengakibatkan penurunan kewajiban pembayaran pajak perusahaan tersebut pada negara.


Referensi

Admin ZF. (2020). Sejarah Perpajakan di Indonesia. FlazzTax.com. https://flazztax.com/2020/01/09/sejarah-perpajakan-di-indonesia/

Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak. (2019). Ini Sejumlah Tantangan Perpajakan di Era Ekonomi Digital Lintas Negara. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-sejumlah-tantangan-perpajakan-di-era-ekonomi-digital-lintas-negara/

Sandra. (2021). Kilas Balik Penetapan Hari Pajak Ditetapkan Tanggal 14 Juli. Pajakku. https://www.pajakku.com/read/60eea2a358d6727b1651ad4f/Kilas-Balik-Penetapan-Hari-Pajak-Ditetapkan-Tanggal-14-Juli

Artikel Cover Hari Pajak-01

Mengenal Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty merupakan perjanjian perpajakan antara dua negara mengenai hak-hak pemajakan masing-masing negara.

Tax treaty ditujukan guna menentukan alokasi hak pemajakan dari suatu transaksi yang terjadi, antara negara tempat sumber penghasilan (negara sumber) dengan negara tempat wajib pajak menetap (negara domisili).

Tax treaty merupakan perjanjian yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan PPh (lex generalis). Artinya, kedudukan P3B berada di atas ketentuan PPh. Tetapi, perlu diketahui bahwa tax treaty ini tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan tax treaty.

Terdapat beberapa tujuan dari adanya tax treaty yaitu guna menghindari pajak berganda yang akan membebani dunia usaha, meningkatkan investasi asing, meningkatkan sumber daya manusia, pertukaran informasi agar mencegah pengelakan pajak (tax evasion), dan menyetarakan kedudukan antar negara.

Dasar hukum dari P3B atau tax treaty diatur dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945, Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 32A UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 35 UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 2010.

Adapun objek pajak yang termasuk dalam tax treaty pada umumnya terdapat 15 jenis penghasilan yaitu penghasilan dari harta tetap (barang tak bergerak), penghasilan dari usaha, penghasilan dari usaha perkapalan atau angkutan udara, dividen, bunga, royalti, keuntungan dari penjualan harta, penghasilan dari pekerjaan bebas, penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, gaji untuk direktur, penghasilan seniman/artis/atlet, uang pensiun & jaminan social tenaga kerja, penghasilan pejabat pemerintah, penghasilan pelajar & peserta pelatihan, dan penghasilan lain-lain.


Referensi

Aeny, Suci Noor. (2017). Apa Itu Tax Treaty?. DDTC News. https://news.ddtc.co.id/apa-itu-tax-treaty-9578

Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak. (2020). Ini Penjelasan Singkat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Atau Tax Treaty. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-penjelasan-singkat-persetujuan-penghindaran-pajak-berganda-p3b-atau-tax-treaty/

Yanto. (2021). Dasar Hukum Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ahlipajak.com. https://ahlipajak.com/dasar-hukum-persetujuan-penghindaran-pajak-berganda-p3b/